“Korut Bersumpah Lawan AS Lebih Keras: Pelantikan Trump”

by -47 Views

Pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, memastikan untuk menerapkan kebijakan anti-AS yang sangat kuat dalam pidatonya baru-baru ini. Kim Jong Un menyebut AS sebagai “negara paling reaktif yang menganggap anti-komunisme sebagai kebijakan negara paling absolut” selama rapat pleno Partai Pekerja yang berkuasa. Hal ini menjadi sorotan media pemerintah kurang dari sebulan sebelum Donald Trump dilantik kembali sebagai presiden AS.

Kembalinya Trump ke Gedung Putih diharapkan dapat meningkatkan prospek diplomasi tingkat tinggi dengan Korea Utara. Meskipun Trump pernah bertemu Kim tiga kali selama masa jabatannya untuk membicarakan program nuklir Korea Utara, pertemuan puncak antara keduanya diperkirakan tidak akan segera terjadi mengingat fokus Trump yang lebih dulu akan tertuju pada konflik di Ukraina dan Timur Tengah.

Dukungan Korea Utara terhadap perang Rusia melawan Ukraina dianggap sebagai tantangan dalam upaya menghidupkan kembali diplomasi. Pidato Kim menegaskan strategi balasan anti-AS yang keras demi keamanan dan kepentingan nasional jangka panjang Korea Utara. Meskipun rincian tentang strategi tersebut belum diuraikan secara jelas, Kim telah menetapkan prioritas untuk meningkatkan kemampuan militer dan menekankan pentingnya ketangguhan mental tentara Korea Utara.

Pertemuan sebelumnya antara Trump dan Kim tidak hanya mengakhiri retorika berapi-api, tetapi juga memperkuat hubungan pribadi keduanya. Namun, pembicaraan keduanya mengenai sanksi terhadap Korea Utara pada tahun 2019 berakhir tanpa kesepakatan. Sejak itu, Korea Utara telah meningkatkan uji coba senjatanya untuk membangun rudal nuklir canggih yang dapat menargetkan AS dan sekutunya, merespon dengan latihan militer yang melibatkan Korea Selatan dan Jepang.

Penilaian AS, Ukraina, dan Korea Selatan menunjukkan bahwa Korea Utara turut terlibat dalam perang di Ukraina dengan mengirim pasukan dan sistem senjata konvensional. Perkiraan pertama dari Ukraina mengenai korban Korea Utara dalam pertempuran di Rusia mengungkap bahwa lebih dari 3.000 tentara Korea Utara tewas dan terluka sejak pengerahan pasukan dimulai pada Oktober lalu.