Jakarta, CNBC Indonesia – Kondisi ekonomi Kuba saat ini terus memburuk. Hal ini terjadi karena kekurangan makanan dan energi yang dialami oleh penduduk Amerika Latin Komunis itu.
Data resmi menunjukkan bahwa tingkat inflasi tahunan Kuba hampir mencapai 50% selama tiga tahun terakhir. Di sisi lain, negara itu juga mengalami penurunan produk domestik bruto sebesar 2%.
Baru-baru ini, harga bensin naik lima kali lipat, dan PDB turun 10% dibandingkan dengan tahun 2019. Mata uang peso Kuba diperdagangkan pada tingkat 325 terhadap dolar pada hari Senin, dibandingkan dengan kurs resmi 24 (kurs lain sebesar 120 digunakan untuk barang tertentu).
Situasi ini bertolak belakang dengan kondisi pada era 1960-an di negara itu. Pada masa itu, pemerintah memberi makan kepada keluarga Kuba dengan berbagai macam makanan mulai dari hamburger, ikan, susu, coklat, hingga bir. Bahkan ada kue untuk ulang tahun dan pernikahan.
Program tersebut dikenal sebagai “Libreta”. Libreta diluncurkan pada bulan Juli 1963 dan menjadi salah satu kebijakan sosialis utama di negara itu.
Namun, krisis terjadi di Kuba pada tahun 1990, ketika bantuan dari Uni Soviet lenyap karena kehancuran rezim komunis tersebut. Keadaan tersebut terus berlanjut hingga beberapa tahun berikutnya.
Kondisi ekonomi yang tak menentu membuat banyak warga Kuba memilih untuk pergi ke luar negeri. Dalam dua tahun terakhir, hampir setengah juta warga Kuba beremigrasi ke Amerika Serikat, sementara ribuan yang lain menuju Eropa.
Bagi yang tetap tinggal di Kuba, makanan yang tersedia semakin berkurang. Pasar-pasar swasta kecil yang mulai beroperasi menetapkan harga yang sama dengan harga internasional, yang jelas tidak terjangkau bagi penduduk yang rata-rata gajinya hanya antara US$ 16 (Rp 253.000) dan US$ 23 (Rp 363.000) per bulan.
Pemerintah Kuba menyalahkan kerusakan ekonomi akibat Covid-19, sanksi AS, dan perubahan makroekonomi lainnya yang mengakibatkan inflasi yang parah.
Beberapa warga memutuskan untuk melakukan aksi protes terhadap situasi ini. Para pengunjuk rasa mengecam pemadaman listrik dan kekurangan makanan di kota Santiago. Media sosial dipenuhi dengan gambar protes di kota-kota lain seperti Bayamo.
Kedutaan Besar AS di Havana menyatakan bahwa mereka mengetahui adanya “protes damai” di kota-kota Kuba tersebut. Mereka menyerukan pemerintah Kuba untuk menghormati hak para demonstran.
Presiden Kuba, Miguel Diaz-Canel, menuduh ada pihak-pihak di AS yang menghasut aksi demonstrasi tersebut. Havana telah memanggil duta besar AS ke Kementerian Luar Negeri sebagai respons.
Krisis ekonomi ini membuat masyarakat Kuba semakin menderita. Situasi semakin rumit ketika pasokan pertanian terganggu akibat kekurangan uang dan peralatan yang diperlukan.