Ngertakeun Bumi Lamba 2025 di Gunung Tangkuban Parahu: Saat Bumi Dipeluk dengan Doa dan Tindakan

by -89 Views
Ngertakeun Bumi Lamba 2025 di Gunung Tangkuban Parahu: Saat Bumi Dipeluk dengan Doa dan Tindakan

Sebuah Pagi di Lereng Tangkuban Parahu

Pagi itu, Sabtu, 22 Juni 2025, udara di lereng Gunung Tangkuban Parahu terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut masih tebal menyelimuti tanah ketika ribuan orang mulai berdatangan, membawa doa di dalam dada dan kain adat yang membalut tubuh mereka. Ada yang mengenakan batik Sunda, ikat Dayak, selendang Bali, hingga hiasan kepala Minahasa. Semua berpadu, membentuk satu pemandangan yang tidak hanya indah, tetapi juga penuh makna.

Mereka hadir untuk mengikuti Ngertakeun Bumi Lamba, sebuah upacara adat Sunda yang sejak lama menjadi simbol janji manusia untuk tidak meninggalkan bumi sendirian.

Ketika Tradisi Menjadi Pengingat

Dalam bahasa Sunda, ngertakeun berarti memelihara, merawat, dan memuliakan. Sedangkan bumi lamba menunjuk pada bumi luas yang tak terhingga — simbol alam semesta yang kita tempati bersama. Tradisi ini dipercaya sudah ada sejak zaman kerajaan Sunda kuno, dan pada 1964 dihidupkan kembali oleh R.M.H. Eyang Kanduruan Kartawinata di gunung yang sama.

Ketika upacara dimulai, suara lirih karinding terdengar, seolah membisikkan pesan dari leluhur. Suara itu lalu diikuti denting angklung, genta Bali, dan tabuhan Minahasa. Sebuah orkestra alami yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang datang dengan hati terbuka.

Pesan Para Penjaga Alam

Upacara ini juga dihadiri para tokoh nasional yang membawa pesan penuh makna.

  • Bapak Wiratno: “Budaya sejati adalah ketika kita sanggup menyerahkan bumi dalam keadaan lebih baik kepada mereka yang belum lahir.”
  • Andy Utama: “Jangan pernah berhitung dengan semesta. Karena kalau semesta mulai berhitung dengan kita, kita yang rugi.”
  • Mayjen Rido: menyebut ritual ini sebagai “pengadilan batin” untuk setiap manusia.
  • Panglima Dayak: “Alam tidak butuh manusia. Kitalah yang sangat bergantung pada alam.”
  • Panglima Minahasa: “Gunung adalah penjaga masa depan. Di sinilah Bhineka Tunggal Ika nyata. Di sinilah Pancasila hadir. Merdeka!”

Dari Janji Menjadi Bukti

Ritual ini tidak berhenti pada doa. Semangat yang lahir dari sini juga diwujudkan dalam aksi nyata. Komunitas Arista Montana bersama Yayasan Paseban telah menanam lebih dari 15.000 pohon puspa, damar, bambu, dan beragam tanaman hutan di kawasan Megamendung dan Gunung Gede-Pangrango.

Tindakan nyata ini menjadi wujud dari janji yang diucapkan saat ritual, sebuah bukti bahwa menjaga bumi bukan hanya tentang kata-kata, tetapi juga tindakan.

Baca juga: Andy Utama dan Cinta Bumi dalam Aksi Nyata

Sebuah Janji yang Terus Hidup

Ketika ritual mendekati akhir, Panglima Dayak memimpin pekikan keras, “Taariu! Taariu! Taariu!” Seruan itu bukan hanya membelah hening, tetapi juga menyatukan hati semua orang di sana. Sebuah sumpah: bumi akan terus dirawat, leluhur tidak akan dikhianati, dan manusia tidak akan lupa siapa dirinya.

Langkah-langkah mereka saat pulang terasa ringan, membawa pulang amanah: bumi hanya bisa dijaga oleh mereka yang sudah belajar memeluknya dengan cinta.

Sumber: Ngertakeun Bumi Lamba: Upacara Adat Nusantara Untuk Cinta Kasih Semesta Dan Pelestarian Alam