Diskusi Prodi HI UKI Bersama DPR RI Terkait Aturan Intelijen di Indonesia

by -74 Views

Debat Aturan Intelijen di Indonesia oleh Prodi HI UKI Bersama DPR RI

Undang-Undang No.17/2011 menyatakan bahwa intelijen negara memiliki peran dalam melakukan upaya, pekerjaan, kegiatan, dan tindakan untuk deteksi dini dan peringatan dini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan setiap ancaman yang muncul dan mengancam kepentingan dan keamanan nasional.

Anggota Komisi I DPR RI, Mayor Jenderal TNI (Purn.) Dr. H. Tubagus Hasanuddin, S.E., M.M., M.Si, menyampaikan hal ini dalam Diskusi Kelompok Fokus (FGD) “Aturan Tambahan dalam Spionase: Jejaring Atau Kekuasaan, Sebuah Diskursus” yang diadakan oleh Prodi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Kristen Indonesia (UKI) bersama Departemen HI UI, di Ruang Executive FEB Gedung AB UKI (11/06).

“Jadi peran intelijen negara adalah melakukan kegiatan deteksi dan peringatan secara dini atas ancaman kepentingan dan keamanan nasional,” kata Tubagus Hasanuddin.

Menurut Tubagus, undang-undang Intelijen bertujuan untuk mengatur kegiatan intelijen, namun yang paling penting adalah keberadaan moralitas agar aktivitas intelijen tidak disalahgunakan untuk kepentingan lain.

Teknologi alat penyadap telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir, memungkinkan pengawasan yang lebih efektif dan invasif. Alat-alat ini sering digunakan untuk memantau komunikasi digital, termasuk pesan teks, panggilan telepon, dan aktivitas online lainnya. Meskipun teknologi ini dapat digunakan untuk tujuan keamanan yang sah, laporan Amnesty International menyoroti bagaimana alat ini sering disalahgunakan.

Lebih lanjut, Tubagus Hasanuddin menjelaskan, dalam UU Intelijen negara, persoalan yang muncul terkait dengan penyadapan. “Ada tujuan yang baik dari penyadapan asalkan tetap melindungi hak asasi manusia,” ungkapnya.

Guru Besar Ilmu Keamanan Internasional Fisipol UKI, Prof. Angel Damayanti, Ph.D., menyoroti adanya aturan tentang penyadapan yang tercantum dalam Rancangan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

“Yang terpenting adalah aturan penyadapan atau dalam spionase harus memprioritaskan keamanan dan hak asasi manusia. Aparat penegak hukum harus melakukan penyadapan secara hati-hati untuk menjaga keamanan negara dari ancaman. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan pemerintah agar peraturan spionase atau intelijen tidak melanggar kebebasan individu,” ujar Prof. Angel Damayanti.

Prof. Angel menjelaskan Rancangan Undang-Undang (RUU) spionase, norma, dan etika dalam memperoleh informasi, serta pentingnya kejelasan dalam mendefinisikan ancaman untuk membuat regulasi yang efektif.

“Dalam menyusun RUU, penting untuk menyamakan persepsi tentang apa yang dianggap sebagai ancaman. Misalnya, dalam kasus terorisme, terdapat perbedaan pendapat tentang peran perempuan, remaja, dan anak apakah sebagai korban, pelaku, atau ancaman. RUU harus jelas dalam mengatur apakah barang bukti digital yang diperoleh melalui spionase dapat digunakan sebagai bukti dalam penuntutan kasus terorisme, yang akan mendukung hakim dalam memberikan hukuman yang adil,” jelas Prof. Angel.

Narasumber selanjutnya, Kepala Program Studi Hubungan Internasional Fisipol UKI, Arthuur Jeverson Maya, M.A., menyampaikan pandangannya mengenai kontradiksi dalam hubungan negara dengan spionase, serta pentingnya kemajuan teknologi dalam akses informasi.

“Spionase merupakan bentuk perang rahasia yang melibatkan kegiatan pengawasan dan pengumpulan informasi secara diam-diam,” ujar Arthuur.

Menurut Direktur Centre for Social Justice and Global Responsibility UKI ini, terdapat kontradiksi antara keterbukaan dan kerahasiaan dalam hubungan negara dan spionase. “Negara harus transparan untuk menjaga legitimasi dan kepercayaan publik, namun kerahasiaan diperlukan untuk melindungi keamanan nasional,” ungkapnya.

“Pentingnya kemajuan teknologi dalam akses dan analisis informasi. Perbedaan dalam kecepatan akses informasi dapat menjadi tantangan besar, sehingga negara harus terus memperbarui dan meningkatkan teknologi mereka untuk memastikan informasi bisa diperoleh dan digunakan secara efektif. Selain itu, regulasi yang jelas dan tegas dalam mengatur kegiatan spionase juga penting, agar tidak menimbulkan masalah etika dan hukum di masa depan,” jelas Arthuur.

FGD juga dihadiri oleh Guru Besar Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer Universitas Bakrie, Prof. Hoga Saragih, Ph.D.; Direktur Riset Indo Pacific Strategic Intelligence, Aisha Rasyidilla Kusumasomantri, M.Sc.; dan Direktur Cesfas UKI, Darynaufal Mulyaman sebagai moderator.

“Ruang diskusi terkait spionase dan intelijen harus tetap terbuka meskipun isu yang sensitif. Dinamika sosial merupakan rekonstruksi sosial yang bisa direkonstruksi lagi, karena setiap hal memiliki sudut pandang yang berbeda. Yang jelas, tidak boleh melanggar etika dan moral untuk menekan kebebasan bersuara,” tutup moderator. (Z-7)

Source link