Apakah Resesi Seks Semakin Memperburuk? Penelitian Mengungkap Fakta-Fakta Terbaru

by -86 Views

Jakarta, CNBC Indonesia – Studi terbaru menunjukkan dampak serius terkait penurunan tingkat kesuburan penduduk dunia. Penurunan tingkat kesuburan ini diperkirakan akan menyebabkan perubahan demografi transformasional dalam 25 tahun ke depan, yang akan berdampak besar pada perekonomian global.

Pada tahun 2050, tiga perempat negara diperkirakan akan mengalami penurunan tingkat kelahiran yang bisa menggantikan populasi sebesar 2,1 bayi per perempuan, berdasarkan penelitian medis The Lancet yang dikutip dari CNBC.com, Sabtu (23/3/2024).

Penurunan jumlah kelahiran terutama terjadi di negara maju. Dengan demikian, kelahiran baru diperkirakan akan didominasi oleh 49 negara yang termasuk dalam kategori miskin di wilayah Afrika Sub-Sahara dan Asia.

“Tren tingkat kesuburan dan kelahiran di masa depan akan menyebabkan pergeseran dinamika populasi global, mendorong perubahan dalam hubungan internasional dan geopolitik, serta menekankan tantangan baru dalam migrasi dan jaringan bantuan global,” tulis para penulis laporan tersebut dalam kesimpulannya.

Pada tahun 2100, hanya enam negara diprediksi akan memiliki tingkat kelahiran yang dapat menggantikan populasi mereka. Negara-negara tersebut berada di Afrika seperti Chad, Niger, dan Samoa, serta Tajikistan di Asia Tengah.

Para penulis memperkirakan perubahan lanskap demografis tersebut akan menghasilkan dampak sosial, ekonomi, lingkungan, dan geopolitik yang signifikan. Khususnya, penurunan jumlah angkatan kerja di negara maju memerlukan intervensi politik dan fiskal yang besar, meskipun kemajuan teknologi memberikan dukungan.

“Dengan menurunnya angkatan kerja, total ekonomi cenderung menurun meskipun output per pekerja tetap konstan. Tanpa kebijakan migrasi liberal, negara-negara ini akan menghadapi banyak tantangan,” kata Christopher Murray, penulis utama laporan dan direktur di Institute for Health Metrics and Evaluation, kepada CNBC.

“AI (kecerdasan buatan) dan robotika mungkin mengurangi dampak ekonomi dari penurunan angkatan kerja, tetapi beberapa sektor seperti perumahan akan terus terpengaruh,” tambahnya.

Penelitian yang didanai oleh Bill & Melinda Gates Foundation tidak secara khusus menyebutkan dampak ekonomi dari pergeseran demografi tersebut. Namun, hal ini menyoroti perbedaan antara negara-negara berpendapatan tinggi, yang memiliki tingkat kelahiran yang terus menurun, dan negara-negara berpendapatan rendah, yang tingkat kelahirannya terus meningkat.

Dari tahun 1950 hingga 2021, tingkat kesuburan total (TFR) global – atau jumlah rata-rata bayi yang lahir dari seorang perempuan – turun dari 4,84 menjadi 2,23. Penurunan ini disebabkan oleh semakin banyak negara yang menjadi lebih kaya dan jumlah perempuan yang memiliki sedikit bayi.

Perubahan ini diperparah oleh perubahan sosial, seperti peningkatan partisipasi angkatan kerja perempuan, dan langkah-langkah politik seperti kebijakan satu anak di Tiongkok.

Dari tahun 2050 hingga 2100, tingkat kesuburan global diprediksi akan turun lebih jauh dari 1,83 menjadi 1,59. Tingkat penggantian – atau jumlah anak yang harus dimiliki oleh pasangan untuk menggantikan diri mereka sendiri – adalah 2,1 di sebagian besar negara maju.

Hal ini terjadi meskipun populasi global diperkirakan akan tumbuh dari 8 miliar menjadi 9,7 miliar pada tahun 2050, sebelum mencapai puncaknya sekitar 10,4 miliar pada pertengahan 2080-an.

Saat ini, banyak negara maju memiliki tingkat kesuburan jauh di bawah tingkat penggantian. Pada pertengahan abad ini, kategori ini akan mencakup negara-negara dengan ekonomi besar seperti Tiongkok dan India, dengan tingkat kelahiran di Korea Selatan yang menduduki peringkat terendah global, yaitu sebesar 0,82.

Sementara itu, negara-negara berpendapatan rendah diprediksi akan mengalami peningkatan jumlah kelahiran hampir dua kali lipat dari 18% pada tahun 2021 menjadi 35% pada tahun 2100. Pada saat pergantian abad ini, Afrika Sub-Sahara akan menyumbang setengah dari semua kelahiran baru, menurut laporan.

Murray menyatakan bahwa hal ini dapat memberikan negara-negara miskin kekuatan lebih besar dalam merundingkan kebijakan migrasi yang lebih etis dan adil – pengaruh yang bisa menjadi penting karena negara-negara ini semakin rentan terhadap dampak perubahan iklim.