Mendadak, Media Asing Fokus Pada Upaya Hilirisasi Jokowi, Apa Yang Terjadi?

by -120 Views
Mendadak, Media Asing Fokus Pada Upaya Hilirisasi Jokowi, Apa Yang Terjadi?

Kebijakan hilirisasi mineral kembali mendapatkan sorotan dari media asing. Kali ini, pelarangan ekspor bijih nikel yang ‘ugal-ugalan’ ditengarai bisa membawa dampak lanjutan yang lebih besar. Wall Street Journal (WSJ) dalam laporannya, Senin (5/2/2024), mengungkapkan bagaimana Indonesia memberlakukan larangan besar terhadap ekspor nikel mentah. Artinya, perusahaan yang ingin memanfaatkan sumber mineral yang digunakan dalam jenis baterai kendaraan listrik tersebut harus membangun smelter di Indonesia.

Para pejabat memperkirakan bahwa pabrik-pabrik yang memproduksi baterai kendaraan listrik dan seluruh mobil listrik juga akan mengikuti jejak tersebut, sehingga menghasilkan rantai pasokan end-to-end yang dekat dengan sumber mineral. Namun, pelaksanaan program peningkatan nilai tambah tersebut nyatanya dilematis dari sisi lingkungan. Pasalnya, penggunaan batu bara, yang dianggap sebagai sumber energi kotor, sebagai bahan bakar pembangkit untuk mendukung kegiatan tersebut, juga meningkat.

WSJ mengutip laporan Climate Rights International, sebuah kelompok lingkungan hidup Amerika Serikat (AS), pada bulan Januari yang mengatakan bahwa sebuah kawasan industri yang berfokus pada nikel yang terletak di kepulauan Maluku akan membakar lebih banyak batu bara dibandingkan Spanyol atau Brasil jika kawasan tersebut sudah beroperasi penuh. Hal itu juga disinggung oleh Calon Wakil Presiden Muhaimin Iskandar saat debat beberapa waktu lalu.

“Kita mengorbankan lingkungan dan masyarakat, namun pada saat yang sama kita hanya mendapatkan sedikit keuntungan bagi negara,” katanya, sebagaimana dikutip WSJ. Kandidat-kandidat lain telah berjanji untuk meneruskan kebijakan nikel yang diusung presiden, termasuk calon presiden Prabowo Subianto, yang mengatakan bahwa lebih baik mengekspor baterai kendaraan listrik daripada nikel mentah. Menurut WSJ, reputasi “nikel kotor” mengancam peluang ekonomi yang sangat didambakan Indonesia.

Pada Oktober, sembilan senator AS menandatangani surat yang menentang usulan perjanjian perdagangan bebas untuk mendapatkan sumber mineral penting dari Indonesia, dengan alasan masalah lingkungan dan keselamatan. Tanpa kesepakatan perdagangan bebas, baterai kendaraan listrik yang mengandung nikel olahan dalam jumlah besar di Indonesia tidak akan memenuhi syarat untuk mendapatkan kredit pajak besar di AS.

Lonjakan konsumsi batu bara akibat hal ini membuat nikel RI kurang menarik bagi produsen kendaraan listrik di negara-negara Barat, yang sudah menghadapi pertanyaan dari kelompok lingkungan hidup tentang dampak lingkungan dari operasi nikel yang luas. Sebagai tanda meningkatnya kegelisahan ini, Wakil Direktur Baterai dan Material Kritis di Departemen Energi AS, Ashley Zumwalt-Forbes, menyuarakan keprihatinannya dalam unggahan LinkedIn bulan lalu tentang apa yang ia sebut sebagai cengkeraman nikel Indonesia yang kotor di pasar.

Indonesia menyumbang setengah dari pasokan nikel global, naik dari seperempat pada tahun 2018. Masalah nikel juga mendorong produsen kendaraan listrik untuk mengolah ulang aki mobil dan beralih ke produk bebas nikel. Alternatif lithium ferro phosphate (LFP) mulai mendapat perhatian, meski masih kalah kuat dibandingkan baterai yang mengandung nikel.

Selain nikel kotor, ada pertanyaan apakah kebijakan tersebut membawa Indonesia menuju tujuan hilirisasi yang diusung Presiden Joko Widodo (Jokowi), yakni peralihan ke sektor manufaktur yang bernilai lebih tinggi. Jokowi telah lama mengatakan bahwa tujuan akhirnya bukanlah melokalisasi pemrosesan nikel, melainkan menarik pabrik kendaraan listrik dan baterai.

Namun sejauh ini, produsen kendaraan listrik belum terburu-buru masuk ke Indonesia. Tesla dan pendirinya Elon Musk, yang ditemui Jokowi dalam perjalanannya ke Texas pada tahun 2022, belum menunjukkan tanda-tanda rencana untuk mendirikan pabrik di RI. Produsen mobil Korea Selatan (Korsel), Hyundai, sejak 2021 telah mengoperasikan satu-satunya pabrik kendaraan listrik di Indonesia, yang berfokus pada pasar domestik. Unit ini dapat memproduksi 150.000 kendaraan per tahun, tetapi menghasilkan kurang dari 9.500 pada tahun 2022 dan 2023.

Hyundai dan LG dari Korea juga diperkirakan akan mulai memproduksi sel baterai di pabrik di Jawa Barat tahun ini. Bulan lalu, raksasa kendaraan listrik China, BYD, mengatakan akan memulai penjualan mobil di Indonesia, dan memulai pembangunan unit manufakturnya pada akhir tahun ini. Produsen mobil umumnya berencana mendirikan pabrik baterai dan kendaraan listrik di pasar tempat masyarakat sudah membeli mobil listrik. Namun, Indonesia dirasa bukan merupakan tempat terbaik bagi pasar mobil listrik, dengan stasiun pengisian daya yang terbatas dan bensin disubsidi secara besar-besaran.

Tom Lembong, mantan menteri perdagangan di bawah pemerintahan Jokowi yang kini menjadi penasihat calon presiden Anies Baswedan, menilai cara pandang pemerintah saat ini kurang tepat. Pasalnya, ia merasa pemerintah menilai dengan sumber nikel produsen akan datang, namun nyatanya tidak semudah itu. “Ironisnya mereka menyebutnya hilirisasi, padahal kita masih sangat hulu,” ujarnya.

Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves Septian Hario Seto mengakui bahwa pembangunan pabrik baterai kendaraan listrik dan mobil lebih lambat dibandingkan pabrik peleburan nikel. “Pemerintah telah mengeluarkan peraturan baru untuk mengatasi hal tersebut seperti peraturan yang memudahkan produsen kendaraan listrik untuk mengimpor mobil ke Indonesia dengan syarat mereka nantinya akan membangun pabrik,” katanya.

Secara keseluruhan, Seto mengatakan kebijakan nikel telah berhasil, meningkatkan pertumbuhan ekonomi di wilayah timur yang kurang berkembang dimana nikel ditemukan, dan menyediakan lapangan kerja dan pendapatan pajak. “Pemerintah telah mengambil langkah-langkah untuk membatasi degradasi lingkungan, seperti dengan melarang perusahaan membuang limbah pertambangan ke laut, dan akan mencoba menjalankan proyek pembangkit listrik tenaga air sebagai alternatif pengganti batu bara.” Cullen Hendrix, peneliti senior di Peterson Institute for International Economics di Washington DC, mengatakan ada dua cara untuk menilai kebijakan industri Indonesia.

“Ini telah berhasil mendorong investasi asing dan meningkatkan kapasitas pengolahan nikel,” katanya. “Sejauh ini perusahaan belum mencapai perakitan baterai tambang-ke-EV yang terintegrasi penuh seperti yang diinginkannya.”