1.500 Pelaku Ekonomi Mengungkap Ketakutan Masa Depan Dunia pada Tahun 2024

by -76 Views

Jakarta, CNBC Indonesia – Tahun 2024 masih dihadapkan pada berbagai risiko yang dapat mengganggu prospek perekonomian global. Risiko-risiko ini mendapat perhatian khusus dari 1.500 pelaku ekonomi mulai dari akademisi, pelaku usaha, pemerintahan hingga komunitas internasional yang disurvei oleh World Economic Forum pada September 2023.

Dalam laporan Risiko Global 2024, World Economic Forum (WEF) mengungkapkan hasil survei persepsi risiko global atau Global Risks Perception Survey 2023-2024 (GRPS) yang memuat risiko yang paling dikhawatirkan pelaku ekonomi untuk tahun 2024. Hasilnya adalah risiko ketidakpastian global masih sangat tinggi.

“Saat kita memasuki tahun 2024, outlook yang muncul dalam benak kita adalah pesimistis. Dan dalam keseluruhan outlook hingga 2 tahun mendatang pun, bahkan untuk 10 tahun ke depan, kita melihat bahwa prospeknya makin memburuk,” kata Direktur Pelaksana WEF Saadia Zahidi saat konferensi pers The Global Risks Report 2024, dikutip Jumat (12/1/2024).

Berdasarkan survei yang dilakukan WEF pada September 2023 untuk prospek risiko 2024, sebagian besar responden atau 54% dari mereka memperkirakan adanya gejolak dan risiko bencana global yang moderat, sementara 27% lainnya memperkirakan akan terjadi gejolak yang lebih besar dan 3% memperkirakan risiko bencana global akan terjadi dalam jangka pendek.

Hanya 16% yang memperkirakan prospek stabil atau tenang dalam dua tahun ke depan. Prospeknya jauh lebih negatif dalam jangka waktu 10 tahun, dengan 63% responden memperkirakan prospek akan penuh tekanan atau bergejolak dan kurang dari 10% memperkirakan situasi akan tenang atau stabil.

Khusus untuk 2024, risiko yang mendapat perhatian khusus dari para responden itu terdiri dari banyak aspek. Tertinggi ialah cuaca ekstrem yang mendapat perhatian 66% responden. Diikuti oleh misinformasi dan disinformasi yang dibuat oleh teknologi artificial intelligence (AI) dengan porsi 53%.

Setelahnya ialah polarisasi sosial dan politik dengan persentase sebanyak 46%, krisis biaya hidup 42%, serangan siber 39%, pelemahan ekonomi 33%, rantai pasokan yang terganggu untuk barang dan sumber daya penting 25%, Eskalasi atau pecahnya konflik bersenjata antarnegara 25%, dan serangan terhadap infrastruktur penting 18%.

Penyensoran dan erosi kebebasan berbicara 16%, disrupsi terhadap rantai pasokan untuk pangan sebesar 14%, tekanan utang publik atau public debt distress mengambil porsi 14%, hingga kurangnya pasokan tenaga kerja dan pekerja terampil 13%, hingga ancaman nuklir yang tidak disengaja atau disengaja dengan sorotan responden sebanyak 12%.

Selain itu ada faktor risiko terkait kerusuhan dan demonstrasi dengan kekerasan oleh sipil 11%, pelepasan agen biologis yang tidak disengaja atau disengaja 9%, keruntuhan institusi di sektor keuangan 7%, housing bubble burst dan tech bubble burst masing-masing 4%.

“Jadi pada tahun ini, kita melihat ada sedikit perbedaan dari beberapa risiko yang dikhawatirkan dibanding pada masa silam yang kerap muncul dalam daftar risiko. Kami kini jadi melihatnya sebagai risiko struktural jangka panjang yang sedang berlangsung seperti perubahan iklim,” ucap Saadia.