Jakarta: Self-harm, atau tindakan menyakiti diri sendiri dengan sengaja, merupakan suatu fenomena yang semakin mengkhawatirkan, terutama di kalangan remaja. Fenomena ini mencerminkan ketidakseimbangan emosional dan psikologis yang perlu mendapatkan perhatian serius.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merilis data bahwa sekitar 20% remaja di dunia yang melukai diri sendiri dengan kuku mereka dengan cara memotong, memukul, menggigit, memegang dan membenturkan kepala ke dinding untuk menghilangkan luka.
Fase remaja bisa dibilanng sebagai fase yang sangat labil. Saat ini, tugas perkembangan remaja adalah memperluas identitasnya. Fase ini sering diartikan sebagai kritis, identik dengan badai dan tekanan, seperti konflik, masalah hubungan sosial dan mood swing pada remaja. Banyak remaja yang merasa kesulitan pada fase ini.
Mulai dari konflik, tekanan dan bahkan dari mereka tidak segan untuk melakukan tindakan merugikan diri sendiri (self harm). Menurut Sanrock dalam bukunya Life – Span Development, Perkembangan Masa Hidup, pada fase ini terdapat banyak perubahan yang terjadi meliputi berbagai aspek atau fungsi perkembangan mulai dari kognitif, fisik, hingga sosioemosi.
Penyebab Self-Harm di Kalangan Remaja
Sebelum lebih jauh, kita akan membahas terlebih dahulu mengenai apa saja penyebab self-harm. Beberapa hal yang diketahui sebagai penyebab aksi melukai diri sendiri pada remaja antara lain:
1. Tekanan Psikososial
Remaja seringkali mengalami tekanan tinggi dari lingkungan sekolah, teman sebaya, dan keluarga. Beberapa mungkin sulit mengatasi ekspektasi yang tinggi, menyebabkan perasaan putus asa dan tidak berdaya.
2. Gangguan Mental
Gangguan mental seperti depresi, kecemasan, atau gangguan makan dapat menjadi pemicu self-harm. Remaja yang mengalami masalah kesehatan mental mungkin mencari cara eksternal untuk mengatasi rasa sakit internal mereka.
3. Pengaruh Media Sosial
Tekanan dari media sosial dapat menciptakan norma yang tidak realistis terkait penampilan dan prestasi. Remaja yang merasa tidak memenuhi standar ini dapat merasa terpinggirkan dan cenderung melakukan self-harm sebagai bentuk pembebasan atau pengendalian.
Dampak Self-Harm di Kalangan Remaja
Self-harm tidak bisa dianggap remeh. Bagi anak remaja yang mengalami fase ini, mereka perlu segera mendapat pertolongan.
Dalam webinar Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Yogyakarta beberapa waktu lalu, dr. Widea Rossi Desvita, Sp.K.J. yang merupakan dosen Fakultas Kedokteran UAD, sekaligus dokter spesialis jiwa RS PKU Muhammadiyah Bantul mengatakan intervensi perlu segera dilakukan.
“Kondisi ini merupakan kondisi yang mendesak, butuh intervensi karena berbahaya. Bisa jadi awalnya hanya ingin menyakiti tetapi lama-lama bisa muncul ide-ide seperti bunuh diri,” tuturnya seperti dikutip dari lldikti5.kemendikbud.go.id.
Ya, apa yang dikatakan dr. Widea memang benar. Dampak dari self-harm sangat berbahaya dan bisa meluas menjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Paling kentara dari tindakan self-harm adalah masalah fisik. Tindakan self-harm dapat menyebabkan cedera serius dan infeksi. Luka-luka ini bisa menjadi pintu masuk untuk masalah kesehatan lainnya.
Belum lagi isolasi sosial. Remaja yang melakukan self-harm mungkin merasa malu atau tidak nyaman berbicara tentang pengalaman mereka, menyebabkan isolasi sosial dan kesulitan membentuk hubungan yang sehat.
Lalu, siklus perasaan buruk. Self-harm dapat menciptakan siklus di mana remaja merasa lega sementara setelah melakukannya, namun diikuti oleh perasaan bersalah dan depresi yang lebih dalam.
Belum Menjadi Perhatian Serius Berbagai Pihak
Sayangnya, fenomena self-harm belum menjadi perhatian serius dari berbagai pihak. Kita mengetahui bahwa self-harm adalah bagian dari masalah kesehatan mental atau sisi psikologis.
Pemerintah Indonesia juga bisa dibilang lamban dalam proses pencegahan. Prof. Dr. Budi A Keliat, M.App.Sc (Guru Besar Fakultas Ilmu Keperawatan UI), dalam pemaparannya mengatakan bahwa seharusnya pemerintah memberikan perhatian lebih kepada layanan kesehatan mental/jiwa.
“Membicarakan perihal kesehatan mental di Indonesia, hingga kini hal tersebut belum mendapatkan perhatian yang layak. Padahal, tidak mungkin lengkap kondisi kesehatan tanpa adanya kesehatan jiwa,” ujarnya seperti dikutip dari www.ui.ac.id.
Ia juga memaparkan bahwa potensi kerugian ekonomi bangsa akibat penyakit jiwa cukup besar, yaitu sebesar Rp1 Miliar per hari dan jika dilakukan perawatan mandiri oleh keluarga maka potensi kerugian menjadi Rp1,5 Miliar per hari.
Bisa dibayangkan kalau fenomena kesehatan mental seperti self-harm ini tidak ditangani secara serius oleh berbagai pihak, termasuk pemerintah.
Kita tentu menyadari bahwa remaja adalah penerus dari bangsa ini. Kalau secara mental tidak baik dan tidak mendapatkan perhatian serius, maka itu bisa berdampak pada negara itu sendiri.
Upaya Pencegahan
Self-harm di kalangan remaja bukanlah fenomena yang sepele dan memerlukan pendekatan holistik. Dengan meningkatkan pemahaman, memberikan dukungan emosional, dan menyediakan sumber daya yang memadai, kita dapat membantu remaja mengatasi perasaan sulit dan mencegah tindakan self-harm. Upaya bersama dari keluarga, sekolah, dan masyarakat dapat memainkan peran kunci dalam menciptakan lingkungan yang mendukung kesejahteraan mental remaja.
Pencegahan mesti digalakkan. Sebagai konselor remaja yang aktif dalam 10 tahun terakhir, berikut beberapa ide pencegahan self-harm pada remaja, yakni:
1. Pendidikan Kesehatan Mental
Penting untuk meningkatkan pemahaman di kalangan remaja mengenai kesehatan mental. Sekolah dan keluarga dapat memainkan peran kunci dalam memberikan informasi tentang cara mengenali dan mengatasi masalah kesehatan mental.
Pemerintah juga dapat mengintegrasikan pendidikan kesehatan mental ke dalam kurikulum sekolah. Ini mencakup informasi tentang pengenalan tanda-tanda masalah kesehatan mental, cara mengelola stres, dan pentingnya merawat kesehatan mental.
2. Dukungan Emosional
Remaja perlu merasa didengar dan didukung. Pendidik, teman sebaya, dan keluarga dapat menciptakan lingkungan di mana remaja merasa aman berbicara tentang perasaan mereka tanpa takut dihakimi.
3. Akses Terhadap Bantuan Profesional
Penting untuk menyediakan akses yang mudah dan tanpa hambatan ke layanan kesehatan mental profesional. Remaja perlu tahu bahwa ada sumber daya yang dapat membantu mereka mengatasi perasaan sulit.
4. Pengawasan Orang Tua
Orang tua perlu mengawasi perubahan perilaku dan suasana hati anak mereka. Keterlibatan orang tua dalam kehidupan anak dapat membantu mendeteksi masalah lebih awal.
5. Layanan Kesehatan Mental di Sekolah
Menyediakan layanan kesehatan mental di sekolah dapat membantu remaja mendapatkan akses lebih mudah ke dukungan profesional. Psikolog atau konselor dapat bekerja sama dengan guru dan orang tua untuk membantu siswa yang mungkin mengalami masalah kesehatan mental.
6. Kampanye Kesadaran
Pemerintah dapat meluncurkan kampanye kesadaran tentang kesehatan mental dan risiko self-harm. Kampanye semacam itu dapat mencakup media sosial, iklan, dan program-program di sekolah untuk mengurangi stigma seputar masalah kesehatan mental.
7. Pelatihan untuk Guru dan Tenaga Kesehatan
Memberikan pelatihan kepada guru dan tenaga kesehatan tentang cara mendeteksi tanda-tanda self-harm, memberikan dukungan awal, dan mengarahkan individu yang membutuhkan bantuan kepada sumber daya profesional adalah langkah penting.
8. Kolaborasi dengan LSM dan Swasta
Pemerintah dapat bekerja sama dengan lembaga swasta dan LSM untuk meningkatkan upaya pencegahan self-harm. Kolaborasi ini dapat mencakup penyediaan layanan kesehatan mental, dukungan finansial, dan kampanye bersama.
Penting untuk diingat bahwa respons terhadap fenomena self-harm memerlukan pendekatan yang holistik dan melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, keluarga, dan masyarakat. Perubahan sosial dan pemahaman yang lebih baik tentang kesehatan mental dapat membantu mengurangi tingkat self-harm di kalangan remaja.
Penulis: Oki Kartika, mahasiswa Magister Psikologi Universitas Tarumanagara. (FIR)