Kementerian Agama tengah memprioritaskan transformasi pendidikan melalui pendekatan yang humanis dan relevan dengan tuntutan zaman. Salah satu inisiatif yang diambil adalah memperkuat Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) dengan melibatkan para ahli dan praktisi pendidikan dalam uji publik. Dalam dialog ini, pendapat-pendapat kritis dan konstruktif menjadi sorotan, menggarisbawahi bahwa KBC bukanlah kurikulum baru melainkan sebuah pendekatan nilai yang segar dan seimbang antara aspek akademik dan karakter.
Rudi Susilana, seorang Guru Besar dari Universitas Pendidikan Indonesia, menjelaskan bahwa KBC tidak dimaksudkan untuk menggantikan kurikulum yang sudah ada, melainkan untuk menyelipkan nilai cinta ke dalam proses pembelajaran yang sedang berlangsung. Contoh konkret dari penerapan KBC adalah di dalam aktivitas menyanyi, dimana guru dapat mendorong siswa untuk berkolaborasi dalam kelompok daripada hanya berperan sebagai individu. Dalam konteks ini, nilai-nilai seperti kolaborasi dan musyawarah ditanamkan sebagai bagian dari proses pendidikan.
Rusman, seorang pakar kurikulum dari BSKAP Kemendikbudristek, menegaskan bahwa cinta dalam konteks pendidikan memiliki indikator yang jelas, seperti penerimaan, komitmen, tindakan kasih sayang, rasa aman, hormat, keterbukaan, dan dukungan emosional. Ia menekankan bahwa KBC tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang instan, namun didasarkan pada tiga landasan utama: filosofis (Pancasila), sosiologis (keragaman Indonesia), dan psikologis (perkembangan peserta didik).
Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid, seorang advokat pendidikan, menyoroti perlunya partisipasi aktif dari para pendidik dalam menerapkan KBC. Ia menekankan bahwa kebijakan ini tidak cukup hanya sebatas di atas kertas, tetapi guru sebagai pelaksana utama harus diberdayakan untuk berinovasi. Selain itu, penting juga untuk mengintegrasikan nilai-nilai kasih sayang dalam ranah digital agar generasi masa depan tidak hanya cerdas secara teknologi namun juga emosional.
Mohammad Nuh, seorang mantan Mendiknas, menyoroti kebutuhan akan menghadirkan unsur masa depan dalam kurikulum pendidikan. Ia menekankan bahwa KBC harus mampu menumbuhkan cinta terhadap ilmu pengetahuan dan memfasilitasi proses belajar yang etis. Pendekatan holistik yang menggabungkan Digital Quotient, Personality Quotient, Indonesia Quotient, dan Islamic Quotient menjadi kunci dalam merespons tantangan pendidikan di era digital saat ini. Kurikulum Berbasis Cinta hadir sebagai langkah penting untuk menciptakan lulusan yang kompeten secara akademik, sosial, emosional, dan spiritual.