Megathrust, atau gempa bumi subduksi besar di lempeng samudra, menjadi ancaman serius bagi Indonesia. Zona-zona megathrust di Indonesia telah diidentifikasi sebagai zona merah yang rentan mengalami gempa dan tsunami beserta efeknya. Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, telah mengingatkan tentang potensi gempa dari dua zona megathrust yaitu Megathrust Selat Sunda dan Megathrust Mentawai-Siberut. Peneliti dari Pusat Riset Kebencanaan Geologi BRIN, Nuraini Rahma Hanifa, menyatakan bahwa segmen megathrust di selatan Jawa mengandung energi tektonik yang signifikan, dapat memicu gempa dengan magnitudo 8,7 hingga 9,1, serta berpotensi memicu tsunami dengan dampak yang luas.
Studi yang dilakukan BRIN menunjukkan bahwa jika terjadi tsunami, ketinggian gelombang diperkirakan mencapai 20 meter di pesisir selatan Jawa, 3-15 meter di Selat Sunda, dan sekitar 1,8 meter di pesisir utara Jakarta. Sejarah telah mencatat kejadian serupa seperti tsunami Pangandaran 2006 yang disebabkan oleh longsor laut di dekat Nusa Kambangan. Rahma menekankan pentingnya mitigasi melalui pendekatan struktural dan non-struktural untuk menghadapi ancaman megathrust di Indonesia, termasuk pembangunan infrastruktur penahan tsunami, dan edukasi masyarakat tentang potensi bahaya dan sistem peringatan dini.
BRIN juga menyoroti perlunya retrofitting atau penguatan struktur bangunan di daerah perkotaan seperti Jakarta yang rentan terhadap gempa. Melalui penelitian, BRIN menemukan bahwa periode ulang gempa megathrust di selatan Jawa sekitar 400-600 tahun, dengan kejadian terakhir diperkirakan terjadi pada tahun 1699. Kesiapsiagaan, mitigasi bencana, dan edukasi masyarakat dianggap kunci untuk mengurangi risiko bencana megathrust di Indonesia. Menurut Rahma, belajar dari pengalaman bencana tsunami Aceh, upaya mitigasi dan kesiapsiagaan sangat penting untuk melindungi nyawa dan harta benda masyarakat.