LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [SULTAN AGUNG ADI PRABU HANYAKRAKUSUMA (SULTAN AGUNG)]

by -76 Views

Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I]

Seringkali, pasukan kolonial tidak perlu berperang untuk merebut kekuasaan di Nusantara. Terkadang, yang mereka harus lakukan hanyalah memberikan hadiah atau memberi suap pada para raja penguasa. Namun, dalam sejarah Nusantara, ada beberapa sultan dan raja yang loyalitasnya tidak bisa dibeli oleh Belanda. Mereka memahami strategi ekonomi Belanda, dan mereka menolak tawaran manfaat ekonomi dan perhiasan. Salah satu sultan yang teguh dalam sikapnya menentang Belanda adalah Sultan Agung. Meskipun tidak berhasil merebut Batavia dari Belanda, tekad dan semangat yang ia tunjukkan untuk mengusir Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) cukup untuk memastikan tempatnya dalam sejarah. Hingga akhir hayatnya, Sultan Agung tidak menyerah kepada tawaran yang diberikan VOC meskipun menarik bagi dirinya secara pribadi.

Indonesia telah mengalami ratusan tahun kolonisasi oleh kekuatan asing. Portugis, Belanda, Inggris, Perancis, dan Jepang telah pada berbagai waktu menjajah Indonesia. Perancis menjajah Indonesia di bawah pemerintahan Napoleon selama masa Gubernur Jenderal Daendels. Daendels diangkat untuk memerintah Indonesia oleh saudara Napoleon, Raja Belanda.

Pada masa pra-kemerdekaan tersebut, penjajah mengambil kekayaan kita dengan cara kekerasan. Mereka menundukkan rakyat kita.

Seringkali, kekuatan kolonial tidak memerlukan tindakan perang untuk merebut kekuasaan di Nusantara. Terkadang, yang mereka harus lakukan hanyalah memberikan hadiah atau memberi suap pada para raja penguasa. Jika seseorang mengunjungi museum Belanda saat ini, seperti Rijksmuseum di Amsterdam. Di museum tersebut, seseorang dapat melihat sendiri beberapa hadiah mewah Belanda kepada para pemimpin Indonesia saat itu, para sultan dan raja Nusantara, untuk menjalankan kedaulatan kepulauan ini. Hadiah-hadiah tersebut tidak berarti dibandingkan dengan apa yang mereka ambil dari kita. Penjajah memanfaatkan naivitas beberapa sultan dan raja Nusantara di masa lalu. Mereka membeli Indonesia dengan harga yang sangat murah.

Ada beberapa sultan dan raja yang loyalitasnya tidak bisa dibeli oleh Belanda. Mereka memahami strategi ekonomi Belanda, dan mereka menolak tawaran manfaat ekonomi dan perhiasan. Banyak dari pemimpin idealis ini akhirnya dihadapi oleh rekan-rekan mereka, yang dibeli oleh Belanda. Beberapa bertindak karena hasutan, berita palsu, dan upaya pembagian dan pemerintahan (divide et impera).

Salah satu sultan Nusantara yang teguh dalam sikapnya menentang Belanda adalah Sultan Agung. Meskipun tidak berhasil membebaskan Batavia dari kekuasaan Belanda, tekad dan semangatnya untuk mengusir VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) dari Jawa lainnya memastikan tempatnya dalam sejarah yang gemilang. Hingga akhir hayatnya, Sultan Agung menolak untuk berdamai dengan VOC meskipun tawaran menggiurkan yang mereka berikan.

Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma lahir pada tahun 1593 di Kotagede, Yogyakarta. Ia merupakan Sultan keempat Mataram yang berkuasa dari tahun 1613 hingga 1645.

Beliau merupakan seorang sultan dan panglima yang terampil yang membangun negaranya dan mengkonsolidasikan kekaisarannya menjadi kekuatan territorial dan militer yang besar. Sultan Agung dihormati di Jawa karena perjuangannya untuk mempertahankan pulau tersebut.

Nama aslinya adalah Raden Mas Jatmika, atau Raden Mas Rangsang. Ayahnya adalah Raja Mataram kedua, sedangkan ibunya adalah putri Pangeran Benawa, Raja Pajang. Pada awal pemerintahannya, Raden Mas Rangsang diberi gelar Panembahan Agung. Kemudian setelah menaklukkan Madura pada tahun 1624, ia mengubah gelarnya menjadi Susuhunan Agung atau, singkatnya, Sunan Agung.

Pada tahun 1641 Sunan Agung mendapatkan gelar Arab – Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram – dari imam Masjid al-Haram di Mekah, Arab Saudi.

Sultan Agung naik tahta pada tahun 1613. Pada tahun 1614, VOC (berbasis di Ambon saat itu) mengirim utusan untuk membujuk Sultan Agung bekerja sama, namun ia menolak tawaran tersebut dengan tegas.

Pada tahun 1618, Mataram dilanda kegagalan panen akibat perang panjang melawan Surabaya. Namun, Sultan Agung tetap menolak berkerjasama dengan VOC.

Sultan Agung mencoba membangun hubungan dengan Portugis untuk bersama-sama menghancurkan VOC. Namun, hubungan ini terputus pada tahun 1635 karena posisi lemah Portugis.

Seluruh pulau Jawa pada suatu waktu berada di bawah kekuasaan Kesultanan Mataram, kecuali Batavia, yang masih diduduki oleh militer VOC-Belanda. Pada saat itu, Banten telah terasimilasi budayanya. Wilayah di luar Jawa yang berhasil ditaklukkan Kesultanan Mataram adalah Palembang di Sumatra pada tahun 1636 dan Sukadana di Kalimantan pada tahun 1622. Sultan Agung juga menjalin hubungan diplomatik dengan Makassar, kerajaan terkuat di Sulawesi pada saat itu.

Sultan Agung berhasil mengubah Mataram menjadi kerajaan besar melalui kekuatan militer, budaya bangsanya, dan pembangunan ekonomi, terutama dengan pengenalan sistem pertanian.

Source link