Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berpotensi mengganggu kinerja anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Rupiah kini telah bergerak di kisaran atas Rp 15.910/US$ atau melemah 0,38% dari penutupan perdagangan kemarin Rp 15.580/US$.
Ekonom yang juga merupakan Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah itu akan mengganggu APBN dari sisi beban bunga dan pokok utang pemerintah yang semakin membengkak hingga subsidi BBM.
“Rupiah yang terus mengalami pelemahan berakibat pada meningkatnya risiko pembayaran bunga dan pokok utang luar negeri pemerintah,” ucap Bhima kepada CNBC Indonesia, Senin (1/4/2024).
Pergerakan nilai tukar rupiah itupun telah jauh dari asumsi nilai tukar dalam asumsi dasar ekonomi makro APBN 2024. Dalam asumsi dasar ekonomi makro APBN 2024, nilai tukar rupiah hanya sebesar Rp 15.000/US$. Serta melampaui realisasi nilai tukar dalam APBN 2023 sebesar Rp 15.255.
Dengan kondisi itu, Bhima menilai Debt Service Ratio (DSR) juga akan membengkak, seiring juga dengan terus turunnya kinerja ekspor Indonesia. DSR ialah perbandingan rasio total utang dengan penerimaan atau penghasilan negara yang biasanya juga berasal dari ekspor.
“Pendapatan pemerintah sebagian besar dalam rupiah sementara ada kewajiban pembayaran utang dengan valas khususnya dolar AS. Efek lain adalah pelemahan kurs rupiah disertai menurunnya kinerja ekspor. Jadi DSR utang kedepan akan membengkak. Indikasi kemampuan bayar utang luar negeri melemah,” ucap Bhima.
Meski begitu, perlu diingat bahwa dari total utang pemerintah per 29 Februari 2024 sebesar Rp 8.319,22 triliun. Mayoritas berasal dari SBN Domestik sebesar Rp 5.947,95 triliun. Dari SBN Valas hanya sebesar Rp 1.388,92 triliun dan pinjaman Rp 982,35 triliun.
Efek lain dari pelemahan nilai tukar ini menurut Bhima ialah membengkaknya beban belanja subsidi energi baik listrik, BBM dan LPG 3 kg. Semakin rupiah melemah semakin besar belanja subsidi energi yang dikeluarkan. Anggaran subsidi energi pada tahun ini sebesar Rp 186,9 triliun.
Dengan kondisi itu, Bhima menyarankan supaya pemerintah melakukan pengurangan utang valas dan mencari alternatif dengan biaya lebih rendah. Kemudian perbaikan DSR bisa dimulai dari diversifikasi ekspor baik produk dan negara tujuan.
“Jangan dominan ekspor batu bara dan nikel setengah jadi yang harganya fluktuatif di pasar global, dorong juga ekspor olahan perikanan dan perkebunan bernilai tambah. Ini momen perbaikan struktur ekonomi,” ucap Bhima.
“Sementara itu, Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS saat ini juga sebetulnya dipengaruhi sentimen negatif pelaku pasar keuangan terhadap kondisi APBN 2024 dan potensi postur APBN 2025.
Dalam APBN 2024, Josua mengatakan, penerimaan negara cenderung menurun sejalan dengan normalisasi harga komoditas. Per 15 Maret 2024, diketahui penerimaan negara minus 5,4% atau hanya Rp 493,4 triliun dari realisasi pada periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 521,3 triliun.
“Hal ini memberi kekhawatiran terkait pembiayaan APBN ke depan sehingga memberikan sentimen negatif pada pasar obligasi Indonesia. Tercatat bahwa kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) terus menurun dari awal tahun,” ucap Josua.
Secara umum, Analis Senior Bank Mandiri Reny Eka Putri mengatakan, pelemahan rupiah kali ini dipicu oleh faktor yang berasal dari global seperti pertumbuhan PDB AS pada kuartal IV yang mampu tumbuh 3,4%, suku bunga bank sentral AS yang akan ditahan di level 5,5% untuk 1-3 bulan ke depan, inflasi AS yang masih naik ke level 2,5%, serta DXY yang trennya masih meningkat.
“Untuk katalis negatif pelemahan rupiah dari domestik di antaranya repatriasi dividen di 1Q24 yang cenderung membuat demand USD meningkat, lalu capital outflow dari pasar saham dan obligasi domestik (net outflow Rp 20 triliun (month to date/mtd)), kekhawatiran pelebaran defisit current account, dan inflasi Maret 2024 meningkat sebesar 3,05% yoy di atas ekspektasi 2,91% yoy,” tegas Reny.