Memberi Arti pada Perjuangan – prabowo2024.net

by -100 Views

Oleh Prabowo Subianto [diambil dari Buku 2 Kepemimpinan Militer: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn.) Prabowo Subianto. Bab VI: Sikap-sikap Pemenang]

“Saya percaya, ‘ajining diri saka pucuke lathi, ajining raga saka busana’. Harga diri seseorang terletak dari lidahnya dan kemampuan menempatkan diri sesuai situasinya. Hormati lawan secara sportif. ‘Menang tanpo ngasorake’.”

Ketika dahulu penjajahan datang secara brutal dengan kekerasan fisik, kondisinya sekarang jauh lebih sulit. Penjajahan seringkali tidak terlihat. Mereka tidak membawa tentara, tidak membawa kapal perang. Penjajahan saat ini memiliki bentuk yang berbeda.

Para penjajah menyogok pejabat-pejabat kita, memengaruhi para intelektual kita, mengadu domba suku-suku kita, dan agama-agama kita ala politik divide et impera.

Sikap-sikap ini masih berlaku hingga hari ini. Mereka yang tidak mau belajar sejarah akan dihukum oleh sejarah, dengan mengulangi kesalahan yang sama yang dilakukan oleh generasi sebelumnya. Kita harus ingat akan hal ini.

Untuk mencegah pengulangan kesalahan yang pernah kita lakukan di masa lalu, dan agar kita dapat bangkit menjadi bangsa yang menang, kita harus mempelajari dan menerapkan sikap-sikap pemenang dari para pendahulu kita, terutama para pendahulu kita yang telah memberi kemenangan besar bagi bangsa Indonesia.

Melalui buku ini, saya ingin berbagi pelajaran-pelajaran yang saya peroleh dari bacaan saya, pengalaman saya, dan pemimpin-pemimpin serta komandan-komandan saya.

Sebelumnya, saya sudah menceritakan mengenai Jenderal Jusuf. Banyak Jenderal angkatan ’45 yang seperti beliau, yang bersih, yang jujur, yang di ujung hidupnya tidak punya apa-apa. Mereka adalah pemimpin luar biasa. Saya merasa banyak dipengaruhi oleh mereka. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kreativitas, inisiatif, karena mereka merasa sebagai tentara rakyat.

Kisah Pak Jusuf mengingatkan saya dengan kisah Salahuddin. Salahuddin Al Ayyubi adalah salah satu tokoh idola saya. Kenapa? Karena pertama, dia seorang panglima perang yang tangguh. Dia berhasil dalam berbagai pertempuran dan dia punya kepemimpinan dan kenegarawanan yang sangat luar biasa. Dan dia selalu bertindak sangat santun, sangat kesatria, bahkan terhadap lawan-lawannya.

Banyak kisah beliau, misalnya suatu saat lawan beliau yang tangguh adalah Richard the Lionheart, Raja Richard yang pertama dari Inggris. Suatu saat, Richard terkepung oleh pasukannya Salahuddin Al Ayyubi dan Richard jatuh dari kuda. Salahuddin melihat itu dan memerintahkan adik kandungnya untuk membawa kuda ke Richard, dan pasukan yang mengepung disuruh mundur.

Kudanya Salahuddin telah diberikan kepada lawannya, dan pasukannya disuruh mundur. Richard the Lionheart diperintahkan untuk pergi dan melanjutkan.

Contoh-contoh kepemimpinan semacam ini sangat dikagumi di mana-mana, termasuk di Barat. Dan kita ingat, saat beliau menjadi pemimpin kekaisaran Islam pada saat itu, dari Tunisia, dari Libya, perbatasan Mesir, Suriah, Irak, sampai perbatasan Persia, Jazirah, semuanya berada di bawah kekuasaan beliau.

Namun yang paling mengharukan saat beliau meninggal adalah ketika istananya dibongkar dan tidak ditemukan harta karun, tidak ada kekayaan beliau. Oleh karena itu, untuk melaksanakan pemakamannya sangat sulit. Akhirnya, panglima-panglima dari daerah-daerah dipanggil untuk menyumbang agar salah satu pahlawan Islam yang paling terkenal itu dapat dimakamkan dengan baik.

Saya sudah menceritakan pelajaran yang saya ambil dari senior-senior saya di TNI, dari tokoh-tokoh besar seperti Salahuddin, sekarang saya juga ingin cerita tentang pelajaran dari salah seorang mentor hidup saya, Gus Dur.

Alhamdulillah, saya berkesempatan untuk mengenal Gus Dur sejak saya menjadi Mayor. Ibunya Gus Dur dan eyang saya adalah tetangga yang sangat dekat, usianya hampir sama, di Jalan Taman Matraman 10. Saya kira kalau sudah suatu usia, dan bertetangga, biasanya budaya suka ngerumpi bersama. Saya tidak akan lupa, saya terharu ketika nenek saya meninggal, ibunya Gus Dur yang memandikan nenek saya. Hubungan mereka sangat dekat.

Antara keluarga Wahid Hasyim, Gus Dur, dan keluarga saya baik, terutama secara pribadi saya kenal baik dengan beliau. Seringkali kita tidak sepakat, kita memiliki perbedaan pandangan, tetapi pada akhirnya saya menyadari bahwa Gus Dur adalah orang yang sangat visioner. Islamnya sangat moderat, inklusif, dan bisa berdialog dengan semua agama lain.

Pelajaran paling penting yang saya ambil dari Gus Dur adalah sikap moderatnya. Dia tidak ingin bermusuhan dengan siapapun, dan selalu mengayomi. Islam haruslah damai. Dia baik kepada orang Nasrani, Kristen, bahkan sampai dengan orang Yahudi. Yang penting adalah menjalin hubungan dan berdialog, meskipun kita tidak selalu setuju dengan pendapat orang lain.

Sikap menghormati semua orang dan mencari titik temu adalah pengaruh terbesar beliau terhadap saya. Saya berharap hal-hal ini dapat saya bagikan kepada Anda melalui buku ini.

Melalui buku ini, saya juga ingin mengajak Anda, sebagai bagian dari bangsa Indonesia, untuk bertanya kepada diri kita sendiri: Apakah jasad para pemuda, para pejuang, para rakyat Indonesia di seluruh Nusantara hanya akan menjadi tulang tidak berarti, atau menjadi inspirasi bagi gerakan kita ke depan?

Saya tidak bisa hidup dengan tenang, mengetahui bahwa banyak anggota bangsa Indonesia saat ini tidak tahu perjuangan I Gusti Ngurah Rai, Ignatius Slamet Riyadi, Wolter Mongisidi, Bung Tomo, Pak Dirman, Pangeran Diponegoro. Saya tidak bisa tenang mengetahui banyak anggota bangsa kita tidak mengetahui sikap-sikap terbaik bangsa Indonesia.

Saya tidak bisa tinggal diam mengetahui nama Diponegoro, nama Gadjah Mada, nama Untung Suropati, tinggal menjadi nama jalan dan taman di kota-kota Indonesia.

Sejak kecil saya gemar membaca. Dulu tidak ada televisi, gadget, Internet, atau YouTube. Jadi saya menghabiskan waktu dengan main layang-layang, kelereng, gasing, perang-perangan, sepak bola, dan akhirnya membaca.

Selain membaca buku, saya suka mendengar dongeng dari kakek dan bapak saya. Mereka selalu bercerita tentang Gadjah Mada, Diponegoro, Sultan Hasanuddin, dan Teuku Umar. Bagi mereka, angkatan ’45 adalah masa yang paling hebat di Indonesia.

Saat saya sekolah di Inggris, saya diajarkan sejarah pahlawan mereka, seperti Duke of Wellington, Lord Nelson, dan Montgomery. Namun saat saya pulang ke Indonesia, saya menceritakan hal ini kepada bapak saya, dan langsung bapak saya bilang, “Tapi Panglima Besar Soedirman lebih hebat.” Angkatan ’45 sangat percaya diri, bangga, dan sensitif karena mereka merasakan dihina sebagai bangsa, ditindas, dan dianggap inlander. Karena mereka merasa dihina, mereka melawan.

Saya juga sering mendengar cerita tentang paman-paman saya yang gugur. Di rumah kakek saya, ada ruangan Subianto dan Sujono. Dua putranya, Subianto dan Sujono, gugur saat perjuangan kemerdekaan. Kakek saya tidak pernah melupakan peristiwa ini. Setiap kali saya datang ke rumah kakek, dia selalu menata kembali tenda milik mereka dan saya diajak bermain di sana. Kakek saya ingin saya belajar dan mendalami sikap-sikap para pejuang kita dan memberi arti nilai kepada perjuangan mereka.

Sumber: https://prabowosubianto.com/memberi-arti-pada-perjuangan/

Source link